Menurut Ward Goodenough: Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu penomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas (32, him. 167)
Teori-teori kebudayaan demikian membantu kita memahami secara lebih rinci implikasi proses
“Globalisasi dan Perubahan Budaya” yang sering menjadi pokok bahasan di negeri kita dewasa ini. Misalnya saja, studi-studi antropologis yang bertumpu pada teori-teori ini menunjukkan ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 1998 3 bahwa proses globalisasi bukanlah suatu proses yang baru mulai akhir - akhir ini, yang disebabkan oleh lonjakan perkembanagan sistem komunikasi, tapi sejak masa lalu setiap masyarakat di muka bumi ini merupakan suatu “masyarakat global” (Sahlins 1994: 387). Begitu juga, kemajemukan kebudayaan terwujud bukan karena terisolasinya kelompokkelompok sosial, melainkan justeru karena adanya kontak secara terus menerus antara kelompok-kelompok tersebut (Lévi-Strauss, dikutip dalam Sahlins 1994: 387). Temuan-temuan demikian mengajarkan kita bahwa proses “Globalisasi dan Perubahan Budaya” tidak perlu dihadapi dengan sikap menutup diri yang ekstrim. Sebaliknya, dengan memahami bagaimana kebudayaan itu dikonstruksi melalui wacana dan praksis, misalnya, kita juga dapat memanfaatkan proses globalisasi sebagai sarana utnuk memperkaya kemajemukan kebudayaan-kebudayaan kita.jadi arus budaya yang datang bukan berarti kita harus menerima secara bulat dan utuh melainkan di filter sesuai dengan peradaban dan budaya kita sebagai orang timur, sehinggga dengan demikian karakter kita sebagai anak bangsa tetap terjaga dan tak hilang di hantam budaya oleh budaya asing.
Pembahasan konsep kebudayaan dari segi teori praksis di atas mencoba mengungkapkan kelemahan pendekatan kebudayaan yang banyak mempengaruhi kajiankajian Antropologi hingga dewasa ini. Aspek lain konsep kebudayaan yang masih sangat jarang disinggung dalam kajian-kajian Antropologi di Indonesia adalah hubungan antara kebudayaan dan wacana (disocurse).
Lepas dari berbagai orientasi teoritis yang terdapat dalam disiplin Antropologi, hampir semua teori-teori kebudayaan yang dikemukakan dalam Antropologi melihat kebudayaan sebagai suatu kenyataan empiris.
Apakah kebudayaan itu dilihat sebagai gagasan, tindakan, atau hasil tindakan, Antropologi senantiasa melihatnya sebagai suatu kenyataan empiris yang dapat diamati, dimengerti ataupun diinterpretasi oleh si peneliti. Apa yang belum terjamah dalam perspektif seperti ini ialah dimensi kebudayaan sebagai wacana. Pendekatan praksis seperti yang diuraikan di atas mengandung implikasi bahwa kebudayaan selalu terwujud dalam praksis, dan salah satu praksis yang berfungsi mereproduksi kebudayaan adalah praksis kewacanaan (discursive practice).
Perpesktif demikian mempuyai suatu perbedaan tajam dengan sudut pandang konvesnional yang sematamata melihat kebudayaan sebagai semata-mata sebagai kenyataan empiris, karena pendekatan ini mengisyaratkan bahwa tulisan-tulisan Antropologi seperti etnografi pada dasarnya tidak lebih dari suatu bentuk
wacana tentang kebudayaan, yang dalam aspek konstruksi sosial tidak beda efeknya dari wacana tentang
kebudayaan yang muncul dalam dunia politik, ekonomi, sastra, seni, iptek dan lain-lain. Perbedaan antara jenis-jenis wacana tersebut bukan dalam “obyektivitas”nya, tetapi dalam audiencenya.
Wacana adalah suatu bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan “kepentingan” si penutur, sehingga dapat merupakan suatu akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaba dan berbagai macam modus penyebaran pengetahuan (Foucault 1980). Perlu diperhatikan bahwa dalam arti adanya keterlibatan “subyektivitas” demikian, wacana dibedakan dari “teks” yang merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi si penutur. Dengan pengertian wacana demikian, kita dapat melihat bahwa setiap wacana tentang kebudayaan (ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 19987) juga tidak terlepas dari “kepentingan”dan “kekuasaan.”3 Kemudian dalam satu masyarakat pun dapat dijumpai berbagai macam wacana tentang kebudayaan masyarakat bersangkutan yang bisa saja saling bertentangan, namun dengan mendapat dukungan dari kekuasaan, wacana tertentu dapat menjadi wacana yang dominan.
Pembahasan konsep kebudayaan dari segi teori praksis di atas mencoba mengungkapkan kelemahan pendekatan kebudayaan yang banyak mempengaruhi kajiankajian Antropologi hingga dewasa ini. Aspek lain konsep kebudayaan yang masih sangat jarang disinggung dalam kajian-kajian Antropologi di Indonesia adalah hubungan antara kebudayaan dan wacana (disocurse).
Lepas dari berbagai orientasi teoritis yang terdapat dalam disiplin Antropologi, hampir semua teori-teori kebudayaan yang dikemukakan dalam Antropologi melihat kebudayaan sebagai suatu kenyataan empiris.
Apakah kebudayaan itu dilihat sebagai gagasan, tindakan, atau hasil tindakan, Antropologi senantiasa melihatnya sebagai suatu kenyataan empiris yang dapat diamati, dimengerti ataupun diinterpretasi oleh si peneliti. Apa yang belum terjamah dalam perspektif seperti ini ialah dimensi kebudayaan sebagai wacana. Pendekatan praksis seperti yang diuraikan di atas mengandung implikasi bahwa kebudayaan selalu terwujud dalam praksis, dan salah satu praksis yang berfungsi mereproduksi kebudayaan adalah praksis kewacanaan (discursive practice).
Perpesktif demikian mempuyai suatu perbedaan tajam dengan sudut pandang konvesnional yang sematamata melihat kebudayaan sebagai semata-mata sebagai kenyataan empiris, karena pendekatan ini mengisyaratkan bahwa tulisan-tulisan Antropologi seperti etnografi pada dasarnya tidak lebih dari suatu bentuk
wacana tentang kebudayaan, yang dalam aspek konstruksi sosial tidak beda efeknya dari wacana tentang
kebudayaan yang muncul dalam dunia politik, ekonomi, sastra, seni, iptek dan lain-lain. Perbedaan antara jenis-jenis wacana tersebut bukan dalam “obyektivitas”nya, tetapi dalam audiencenya.
Wacana adalah suatu bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan “kepentingan” si penutur, sehingga dapat merupakan suatu akumulasi konsep ideologis yang didukung oleh tradisi, kekuasaan, lembaba dan berbagai macam modus penyebaran pengetahuan (Foucault 1980). Perlu diperhatikan bahwa dalam arti adanya keterlibatan “subyektivitas” demikian, wacana dibedakan dari “teks” yang merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi si penutur. Dengan pengertian wacana demikian, kita dapat melihat bahwa setiap wacana tentang kebudayaan (ANTROPOLOGI INDONESIA 54, 19987) juga tidak terlepas dari “kepentingan”dan “kekuasaan.”3 Kemudian dalam satu masyarakat pun dapat dijumpai berbagai macam wacana tentang kebudayaan masyarakat bersangkutan yang bisa saja saling bertentangan, namun dengan mendapat dukungan dari kekuasaan, wacana tertentu dapat menjadi wacana yang dominan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar